Rabu, 29 Januari 2014

My Favorite Part is ...



My favorite part is the dew, while yours is the sunrise. Days left for us, only a few: it’s not forever, but still nice.

My favorite part is the leaf, while yours is the flower. I never want to leave, but it’s also hard to get us together.

My favorite part is the lyrics, while yours is the music. The distance makes me sick, but there’s no option I can pick.

My favorite part is the sea, while yours is the mountain. I’ll never set you free, I’m affraid you won’t come back again.

My favorite part is the blue sky, while yours is the while cloud. When you say goodbye, my heart’s screaming out load.

My favorite part is the moon, while yours is the dark sky. Please comeback soon, before I say goodbye.

My favorite part is the dust, while yours is the solid ground. I gave you all my trust, but you just left me a wound.

Selasa, 28 Januari 2014

Luka Sebuah Lingkaran



Bagaimana jika luka adalah sebuah lingkaran.
Luka yang tidak bermula dan tidak berakhir. Mengelilingi hati dengan jeratan berhiaskan duri. Seperti cincin yang terbuat dari batang bunga mawar. Menusuk dari seluruh sisi. Luka yang tidak mengenal waktu. Luka yang tidak tahu dan tidak pernah mendengar kata berhenti. Luka yang hanya tahu ia ada untuk melukai. Luka yang tidak bisa disembuhkan. Luka yang tidak mau disembuhkan. Luka yang menolak segala usaha perbaikan. Luka yang menganggap dirinya abadi. Dan memang ia adalah abadi. Luka yang selalu bertemu dengan luka lain. Luka yang berkoloni. Luka yang berkumpul dan berumah. Luka yang beranak-pinak, melahirkan luka-luka kecil yang lain. Luka-luka yang bahagia karena menjadi jamak, menjadi banyak. Menjadi lebih berkuasa dan merajalela. Luka-luka yang menunggu pemiliknya menyerah. Menyerah, bertekuk lutut, dan mengakui ketidakberdayaan mereka. Luka-luka yang berambisi menjadi raja. Raja di dalam hati yang rusak. Hati yang rusak karena si pemilik hati terlalu naif dan berharap. Hati yang berharap karena ia tidak belajar dari kekecewaan.

Sabtu, 25 Januari 2014

Aku Ingin Mencintai dan Melupakanmu dengan Sederhana



 aku ingin mencintaimu dengan sederhana
 seperti embun hinggap
 di tepian daun dan tanah yang sabar menyambutnya jatuh

 tapi aku ingin melupakanmu

 aku ingin mencintaimu dengan sederhana
 seperti mata yang berkedip
 menyambut pagi, dan daun jendela
 yang mengintip matahari

 tapi aku ingin melupakanmu

 aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
 seperti gerimis pada jendela dan uap napasmu menulis nama: ‘kita’

 tapi aku ingin melupakanmu

 aku ingin mencintaimu dengan sederhana
 seperti waktu yang tak pernah berhenti
 dan senyummu yang mengabadikannya

 tapi aku ingin melupakanmu

 aku ingin mencintaimu dengan sederhana
 seperti sebuah peluk yang sebentar
 dan satu kecup yang perlahan saja

 tapi aku ingin melupakanmu

 aku ingin mencintaimu dengan sederhana
 seperti kata ‘rindu’ yang kuucap dan kau membalasnya dengan ‘aku juga’

 tapi aku ingin melupakanmu

 aku ingin melupakanmu dengan sederhana
 sesederhana air mata yang mengalir
 sesederhana genggam tangan yang terlepas

 tapi aku ingin melupakanmu

 aku ingin melupakanmu, tapi aku ingin mencintaimu

Pada Paragraf yang Begitu Singkat



Pada paragraf yang begitu singkat, kau sempat menulis luka. Di sana kau dan aku dahulu dengan tabah menyusun huruf demi huruf sambil belajar membuat narasi yang bahagia. Padahal akhir cerita tak bersahabat dengan waktu dan sisa rindu di sela kata terlalu lemah untuk patuh kepada air matamu. Tak ada jeda untuk kau tinggal di sini. Biarkan aku membiarkanmu pergi.

Pada paragraf yang begitu singkat, ada ingatan berkarat. Disana, aku dan kau terperangkap dalam kalimat pasif yang tak paham bagaimana cara menunggu. Sedangkan cintamu telah luput di titik terdekat dan langkahku telah lumpuh di tanda tanya terjauh. Tak ada celah untukku pergi dari sini. Biarkan aku membiarkanmu kembali.

Entahlah, Mungkin Ini Sedikit Curhat



Tak ada yang berubah meski kenangan sudah berhasil kau kemas dan luka tak lagi membuatmu cemas. Sebab kepergian selalu terasa nyata dan kesepian selalu mencari teman. Di depan cermin ada sejarah yang mengulang-ulang dirinya, memanggilmu dari kejauhan. Aku bersembunyi di sudut lain membiarkanmu menatap wajah yang selama ini bertarung dengan ragu: benarkah sejauh ini pernah ada kita disitu?

Tak ada yang terganti meski ingatan tergulung rapi dan kau sudah menyediakan ruang yang lain lagi. Sebab raung yang engkau peram selalu memantulkan diri setiap kali kau mulai meraba pipi: di depan cermin kau membayangkan tanganku mengusap lagi wajahmu, menyentuh kembali kenangan itu. Ada yang mengalir di pipimu, tapi bukan air mata. Seperti ingatan yang mencair dan mencari rumah. Rindu yang pergi dan pulang ingin sekali rebah.

Tak ada rumah yang kau ingat dibalik cermin itu, sebab tak pernah ada kau dan aku: di situ.