Saya sedang
tidak bergurau jika mengatakan bahwa saya merindukanmu. Saya pernah bilang
bahwa kau mudah sekali dirindukan, bukan? Akhir-akhir ini, kau datang lebih
sering ke dalam kepala saya. Terkadang menjelma cerita, lagu-lagu, film, atau
bahkan gambar-gambar yang memunculkan kelakuan-kelakuan konyol tentang kita
dahulu. Apa kau ingat? Di suatu sore yang basah, kita pernah pergi ke suatu
tempat yang bersuhu rendah, saat itu kita basah kuyup akibat mengendarai motor
di tengah hujan yang membuat tubuh kita begitu kedinginan. Tanpa rasa bersalah,
kita lantas duduk di bangku yang ada di kedai tersebut hanya sekedar untuk
mengeringkan dan menghangatkan tubuh masing-masing. Memesan coklat panas lalu meminumnya
dengan sangat lahap. Tak mempedulikan mata-mata yang sinis melihat kita yang
mengotori lantai kedai cokelat. Sampai pada tegukan terakhir, kau melihat
seseorang yang kau bilang Ia adalah kakakmu, kau meminta kita untuk tidak
berlama-lama di sana. Takut dilihat kakakku, —katamu. Lalu dengan masih
terheran, saya menuruti perintahmu untuk tidak berlama-lama disana. Saya hanya
diam tak mengerti mengapa kita tidak boleh berlama lama disana. Padahal kau
tahu seberapa cinta saya dengan aroma cokelat. Lalu perlahan saya mengerti
mengapa kau mengajak saya untuk segera pergi dari kedai tersebut. Kau pernah
bercerita tentang kakakmu yang selalu memarahimu jika kau ketahuan sedang
memakan cokelat. Takut gigimu ompong, —katanya. Ah, kakakmu begitu
menyayangimu, bahkan Ia begitu memperhatikan kesehatanmu. Ia masih
memperlakukanmu seperti dulu saat kau masih kecil. Padahal kita semua tahu kau
sudah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang sudah tidak sepantasnya
dilarang memakan cokelat dengan ancaman gigi ompong lagi. Lalu kita keluar dari
kedai itu dan setelahnya hanya ada kita yang tertawa menceritakan kembali hal
itu semua.
Apa kau
ingat?
Rindu begitu
mudah mengundang kenangan. Suatu kali tertawa mengingatnya, setelahnya hanya
ada dada yang getir mengetahui bahwa hal itu tak dapat terulang kembali. Lalu
kemudian, —tanpa bisa menahan— rindu menjelma awan yang mengantarkan hujan ke
dalam mataku. Mencipta bulir-bulir bening yang jatuh satu per satu. Membentuk
dua aliran sungai yang membasahi pipi. Menguarkan aroma cemas yang menyesaki
pernapasan. Hingga tersengal dalam resah tak berkesudahan.
Saya sedang
berada di sini sekarang. Di satu tempat di mana kita pernah membelah sore yang
basah disebuah kedai cokelat. Menikmati sisa sore membenam sendirian. Pada
waktu dan tempat yang sama di hari kita bersama dahulu.
Maafkan saya
yang membiarkanmu pergi begitu saja, melepaskanmu dengan begitu mudahnya.
Saya
merindukanmu. —lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar