Minggu, 20 April 2014

Saya Rindu Kamu



Saya sedang tidak bergurau jika mengatakan bahwa saya merindukanmu. Saya pernah bilang bahwa kau mudah sekali dirindukan, bukan? Akhir-akhir ini, kau datang lebih sering ke dalam kepala saya. Terkadang menjelma cerita, lagu-lagu, film, atau bahkan gambar-gambar yang memunculkan kelakuan-kelakuan konyol tentang kita dahulu. Apa kau ingat? Di suatu sore yang basah, kita pernah pergi ke suatu tempat yang bersuhu rendah, saat itu kita basah kuyup akibat mengendarai motor di tengah hujan yang membuat tubuh kita begitu kedinginan. Tanpa rasa bersalah, kita lantas duduk di bangku yang ada di kedai tersebut hanya sekedar untuk mengeringkan dan menghangatkan tubuh masing-masing. Memesan coklat panas lalu meminumnya dengan sangat lahap. Tak mempedulikan mata-mata yang sinis melihat kita yang mengotori lantai kedai cokelat. Sampai pada tegukan terakhir, kau melihat seseorang yang kau bilang Ia adalah kakakmu, kau meminta kita untuk tidak berlama-lama di sana. Takut dilihat kakakku, —katamu. Lalu dengan masih terheran, saya menuruti perintahmu untuk tidak berlama-lama disana. Saya hanya diam tak mengerti mengapa kita tidak boleh berlama lama disana. Padahal kau tahu seberapa cinta saya dengan aroma cokelat. Lalu perlahan saya mengerti mengapa kau mengajak saya untuk segera pergi dari kedai tersebut. Kau pernah bercerita tentang kakakmu yang selalu memarahimu jika kau ketahuan sedang memakan cokelat. Takut gigimu ompong, —katanya. Ah, kakakmu begitu menyayangimu, bahkan Ia begitu memperhatikan kesehatanmu. Ia masih memperlakukanmu seperti dulu saat kau masih kecil. Padahal kita semua tahu kau sudah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang sudah tidak sepantasnya dilarang memakan cokelat dengan ancaman gigi ompong lagi. Lalu kita keluar dari kedai itu dan setelahnya hanya ada kita yang tertawa menceritakan kembali hal itu semua.

Apa kau ingat?

Rindu begitu mudah mengundang kenangan. Suatu kali tertawa mengingatnya, setelahnya hanya ada dada yang getir mengetahui bahwa hal itu tak dapat terulang kembali. Lalu kemudian, —tanpa bisa menahan— rindu menjelma awan yang mengantarkan hujan ke dalam mataku. Mencipta bulir-bulir bening yang jatuh satu per satu. Membentuk dua aliran sungai yang membasahi pipi. Menguarkan aroma cemas yang menyesaki pernapasan. Hingga tersengal dalam resah tak berkesudahan.

Saya sedang berada di sini sekarang. Di satu tempat di mana kita pernah membelah sore yang basah disebuah kedai cokelat. Menikmati sisa sore membenam sendirian. Pada waktu dan tempat yang sama di hari kita bersama dahulu.


Maafkan saya yang membiarkanmu pergi begitu saja, melepaskanmu dengan begitu mudahnya.
Saya merindukanmu. —lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar